MELIHAT PELUANG USAHA DARI GULA SEMUT
Gula semut (brown sugar), adalah gula merah palma (palm sugar), yang dikristalkan. Bukan dicetak dalam berbagai bentuk. Selama ini, yang disebut gula semut harus terbuat dari bahan nira palma. Bisa kelapa (Cocos nucifera), aren (Arenga pinata), atau lontar (Borassus flabellifer). Meskipun sebenarnya gula semut juga bisa dibuat dari tebu. Sebab selama ini bahan baku gula merah paling banyak juga berasal dari tebu. Gula merah tebu, sebagian besar diserap oleh industri kecap. Bukan oleh rumah tangga. Meskipun gula semut juga bisa diproduksi dari tebu, konsumen berupa hotel dan restoran, selalu minta gula semut berbahan nira kelapa, lontar, atau aren.
Tiga tumbuhan asli Indonesia ini, sampai sekarang belum termanfaatkan secara optimal sebagai bahan baku gula semut. Yang selama ini dipikirkan pemerintah justru bagaimana memperluas penanaman tebu, agar kita bisa swasembada gula. Indonesia memang bernasib buruk. Tebu adalah tumbuhan asli Indonesia, yang sudah diolah menjadi gula merah sejak sekitar 500 tahun SM. Namun sekarang Indonesia menjadi pengimpor gula, karena hanya menempati urutan ke sembilan sebagai penghasil gula tebu. Nomor satu adalah Brasil 422,9 juta ton, kemudian India 232,3 juta ton, China 87,7 juta ton, Pakistan 47,2 juta ton, Meksiko 45,1 juta ton, Thailand 43,6 juta ton, Kolombia 39,8 juta ton, Australia 37,8 juta ton, Indonesia 29,5 juta ton, dan AS 25,3 juta ton.
Gula kristal putih yang diproduksi dari tebu dan bit, sekarang mulai tidak disukai oleh masyarakat menengah ke atas, karena faktor kesehatan. Gula kristal putih dianggap mengandung banyak bahan kimia, yang terikut pada waktu proses pembuatannya. Kristal gula merah (brown sugar crystal) dari tumbuhan palma, menjadi disukai karena dianggap lebih murni, tanpa bahan ikutan yang berbahaya bagi kesehatan. Namun pasokan kristal gula merah, sampai sekarang masih sangat kecil dibanding dengan permintaannya. Sebab nira kelapa, lontar atau aren, adalah hasil produksi rakyat, yang volumenya sangat sulit untuk ditingkatkan. Beda dengan kristal gula putih tebu, yang produksinya bisa dipacu dengan lebih cepat.
Indonesia sangat beruntung karena punya beberapa tanaman palma, yang selama ini sudah biasa disadap niranya. Di pantai dan dataran rendah yang subur ada kelapa. Di pantai yang gersang dan tandus ada lontar. Di pegunungan ada aren. Tiga tumbuhan ini sudah sangat biasa disadap niranya. Di Jawa, nira tiga tumbuhan ini 100% dijadikan gula merah. Di beberapa kawasan bahkan sudah dibuat gula semut. Di NTT, baik kelapa, lontar, dan aren juga sudah biasa disadap. Namun sebagian besar niranya difermentasi hingga menjadi tuak, dengan kadar alkohol 8% sd. 16%. Tuak ini juga didestilasi, bahkan sampai dua kali destilasi, untuk menghasilkan minuman berkadar alkohol 30% sd. 60% yang disebut moke.
Di lain pihak, para penyadap nira kelapa, aren dan lontar ini juga membeli gula pasir untuk membuat kopi, teh dan kue-kue. Padahal mereka bisa mengolah nira kelapa, lontar dan aren ini menjadi gula merah dan gula semut. Peluang pasar gula semut sangat besar, sebab selama ini permintaan masih lebih besar dibanding pasokan. Para petani miskin di NTT, sebenarnya bisa diangkat taraf hidupnya, andaikan mereka bisa memroduksi gula semut. Sebab hanya sebagian kecil tanaman kelapa, lontar dan aren yang mereka sadap untuk diambil niranya. Sementara sebagian besar tanaman masih menganggur.
Dari tiga tumbuhan penghasil nira ini, aren paling tinggi tingkat produktivitasnya. Menyusul lontar dan kelapa. Aren adalah palm yang sekali berbuah akan langsung mati. Beda dengan lontar dan kelapa yang akan terus berbuah sampai puluhan bahkan ratusan tahun. Selain menghasilkan nira, batang aren juga bisa ditebang untuk diambil patinya seperti halnya sagu. Kelapa dan lontar disadap dengan cara mengiris malai bunganya yang diikat. Sementara aren disadap dengan mengiris tangkai bunganya yang sangat panjang. Pengirisan malai bunga dan tangkai tiga tanaman ini dilakukan setiap pagi dan sore hari.
Karena nira akan menetes terus selama 10 sd. 12 jam nonstop, maka dalam buluh bambu penampungnya, perlu ditaruh laru, berupa kapur, buah manggis muda, tatal (serpih) kayu nangka dan masih banyak bahan tradisional lainnya, untuk menghambat proses pemasaman. Tanpa laru, nira akan langsung menjadi masam (menjadi asam cuka). Setelah diambil pun, nira harus segera disaring dan dipanaskan dengan diberi sedikit air kapur sampai mendidih, untuk mencegah proses pemasaman. Perebusan untuk membuat gula merah, dilakukan secara terus menerus, sampai cairan nira menjadi kental. Pada saat itulah nira pekat ini dicetak menjadi gula berbagai bentuk, sesuai dengan selera masyarakat.
Yang membedakan proses pembuatan gula merah dengan gula semut, hanyalah pada pencetakan. kalau nira pekat ini ditarun dalam tempurung kelapa, buluh bambu, atau wadah pencetak lainnya, akan terbentuk gula merah biasa. Kalau cairan nira pekat ini dimasukkan ke dalam alat sentrifugal yang diputar terus menerus dengan tangan, akan dihasilkan kristal gula semut. Alat sentrifugal ini hanyalah berupa drum dan kayu yang bisa diputar secara manual. Dengan hanya melihat protitipenya, petani bisa membuat peralatan sederhana ini. Beberapa Dinas Perindustrian kabupaten, sudah membina petani kelapa, aren dan lontar untuk memroduksi gula semut.
Salah satu upaya untuk menjaga kualitas produksi adalah, perebusan nira sebaiknya menggunakan kayu bakar berkalori tinggi yang sedikit mengeluarkan asap. Sebab aroma asap dari kayu bakar akan terserap nira, hingga gula merah yang dihasilkan akan beraroma asap. Aroma ini sebenarnya juastru akan menambah kualitas gula semut, apabila bahan bakarnya seragam. Misalnya menggunakan kayu eukaliptus, kayu pinus, atau kayu-kayu lainnya, asalkan homogen. Limbah pelepah daun dan seludang bunga kelapa serta lontar, juga potensial untuk menjadi bahan bakar perebusan nira. Aroma dari limbah masing-masing tanaman ini juga akan menimbulkan aroma gula semut yang seragam pula. (R)
0 komentar:
Posting Komentar